Tari Gandrung Khas Banyuwangi

Tari Gandrung Banyuwangi



Kata gandrrung dapat diartikan ‘cinta’, ‘tertarik’, atau ‘terpesona'; dalam hal ini menggambarkan rasa tertarik atau terpesonanya kaum tani oleh anugerah dewata berupa hasil pa­nenan padi di sawahnya, dan diwujudkan dalam bentuk tari yang bersifat pemujaan. Biasanya tarian pemujaan kepada sang dewata itu ditarikan oleh seorang pria berwajah tampan di de­sanya.

Berdasarkan sejarahnya, tari ini berasal dari tari seblang yang bersifat pemujaan. Dari tari yang mempesona dan bersifat pe­mujaan itu, terbitlah rasa cinta dan gandrung kepadanya, dan rasa itulah yang melahirkan tari gandrung. Sekarang lebih umum dikenal sebagai tari gandrung Banyuwangi.

Tari gandrung mula-mula berupa tarian yang mengandung nilai magik religius, dan sifat itu melahirkan batas-batas kaidah kesopanan sesuai dengan pribadi dan watak khas Banyuwangi. Dewasa ini tari gandrung Banyuwangi bersifat hiburan, berupa tari dengan gending banyuwangen. Dalam tari gandrung masih tampak sifat aslinya sebagai tari pemujaan, dan hal itu tentu banyak mempengaruhi para seniman daerah Blambangan-Ba- nyuwangi dalam menciptakan jenis tari atau gending baru.

Sesuai dengan profesinya, sepintas lalu penari gandrung dapat dikatakan sebagai penari bayaran. Namun sepanjang per­kembangannya belum pernah terdapat penari yang benar-benar profesional. Mereka masih tetap mempertahankan sifat-sifat amatir karena keija tetap mereka adalah sebagai buruh tani. Mereka akan meninggalkan tugas sehari-hari sebagai buruh tani apabila ada yang menghendaki untuk menari sebagai penari gandrung dalam perhelatan atau pesta. Mereka menerima “tang­gapan”, menurut istilah dialek Using.

Seorang penari gandrung akan meninggalkan profesinya sebagai penari, apabila sudah berkeluarga. Dengan demikian dapat di­simpulkan bahwa semua penari gandrung yang masih aktif de­ngan profesinya, masih gadis atau sudah janda. Tari gandrung banyak mengandung unsur nasihat, sindiran, hiburan, dan sebagainya, baik pada jenis tariannya, maupun pada gendingnya. Gerak tari gandrung punya ci-ri khas Banyuwangi; tampak kasar tetapi indah. Irama ge-rakannya banyak ditentukan oleh corak gending yang me-ngiringinya, namun demikian, inti gerakannya tetap bersifat pemujaan terhadap dewata. Hampir semua gerak tari gan-drung yang meliputi gerak kepala, mata, leher, bahu, lengan, pinggul, dan sebagainya, ba-nyak disesuaikan dengan pu-kulan irama kendang yang khas Banyuwangi. Irama geraknya memperlihatkan persamaan dengan gerak lenong dari Jakarta,  antara lain gerakan pinggulnya, termasuk irama gending yang mengiringinya.

Kesenian gandrung banyuwangi biasanya dilaksanakan diatas pentas ketika pesta perkawinan atau khitanan, dan berlangsung sepanjang malam. Panari gandrung biasanya menari bersama-sama, diikuti para pemaju. Penampilannya selalu didahului atau dibuka oleh tari pembuka yang biasa disebut tari jejer. Pada tari pembuka ini penari menari dan menyanyi tanpa pemaju, sebagai tanda ucapan selamat datang kepada para penonton, dan secara tradisional diiringi gending Podho Nonton. Acara inti dimulai beberapa menit setelah acara tari pembuka atau jejer diakhiri.

Penari gandrung menari dan menyanyi di atas pentas melayani para pemaju yang telah agak lama menanti. Pemaju yang berasal dari kata maju ‘maju, bergerak’, biasanya tampil atau beringsut ke arah muka dari kalangan penonton yang ingin ber­sama-sama menari dengan penari gandrung di atas pentas, atau kadang-kadang karena mereka mendapat lemparan selendang atau sampur dari gandrung itu sendiri, kemudian bangkit dan naik ke pentas untuk menari memenuhi ajakan gandrung. Apabila ada pemaju yang berhasrat menari bersama gandrung, ia mendekati pentas, menyerahkan atau memberikan sejumlah uang kepada salah seorang pemukul gamelan pemegang keluncing, dan menyebutkan gending yang dimintanya.

Penari gandrung melayani hasrat itu dan mulai menari bersama di atas pentas. Begitulah proses terjadinya pemaju Banyuwangi yang berlangsung bergembira menari bersama gandrung sepanjang malam. Namun dalam perkembangannya dewasa ini, mengingat nilai seni dan sifat harga diri penari gandrung itu sendiri, proses pemaju seperti itu sudah tidak terlihat lagi. Pemaju gandrung dewasa ini ber­himpun dengan baik dalam wadah Persatuan Pemaju Gandrung. Umumnya setiap himpunan lebih memperhatikan nilai tari se­hingga dengan sengaja mereka mempelajari atau membakukan jenis tari tertentu agar penampilannya di atas pentas memper­lihatkan keindahan dan keserasian. Biasanya setiap jenis gending atau tarian ditarikan oleh empat orang pemaju sekaligus agar dapat dijelmakan kaidah tari pemaju gandrung dalam etika dan estetika tari, sebab adalah tidak terpuji dan melanggar kesopan­an jika teijadi singgungan di atas pentas antara penari gandrung dan pemajunya. Pelanggaran semacam itu akan mendapat um­patan langsung dari penonton, dan mungkin dapat terjadi per­kelahian antara penabuh gamelan dan pemaju.

Setelah acara menari dan menyanyi sepanjang malam, kira- kira menjelang fajar, acara ditutup dengan sebuah tari penutup yang biasa dikenal dengan nama tari seblangan. Pada tari pe­nutup ini, gandrung menari sambil melagukan gending khas Ba­nyuwangi seorang diri. Dia membawakan gending-gending yang bersifat romantis, erotik, religius, atau menyedihkan dan me­ngandung nasihat, seakan-akan mengingatkan penonton akan keagungan Tuhan setelah bergembira ria sepanjang malam. Se­akan-akan mengingatkan kita agar kembali kepada keluarga, tugas, dan kewajiban sehari-hari. Sering penonton menghayati­nya begitu dalam sehingga tanpa disadari air mata mengalir mem­basahi pipi.

Pakaian dan tata rias penari gandrung termasuk sederhana, se­suai fungsi asalnya sebagai penari sakral pemujaan dewata, me­ngingatkan kita kepada pakaian adat. Secara singkat, tata busana itu dapat diperikan sebagai berikut.

Mahkota yang disebut kuluk, terbuat dari kulit bertatah ukiran dengan motif gambar kepala Gatutkaca, berbadan naga, dihiasi berbagai permata dan bunga tiruan yang mudah bergerak apabila kepala penari bergerak.
Oto yang terpasang di bagian depan badan penari.
Kain berbentuk lidah sebagai penutup dada, terbuat dari kain beledu hitam berhias permata dari manik-manik ber­aneka warna gemerlapan.
Ikat pinggang terbuat dari logam berkilauan, disebut pending.
Sembongan, yaitu hiasan beberapa helai kain aneka warna yang dipasang berkeliling pinggul.
Kain panjang, dipakai agak tinggi di atas mata kaki, sebagai gambaran pakaian wanita sebagai petani di ladang.
Kaos kaki berwarna putih, tanpa sepatu.
Selendang, sampur, dan sebuah kipas.
Mahkota sebagai penutup kepala merupakan perkembangan tutup kepala penari sebiang yang biasanya terbuat dari daun pisang muda berhias aneka warna bunga. Secara tradisional tata riasnya amat sederhana, namun menunjukkan keaslian paras gandrung itu. Permukaan kulit seluruh tubuhnya dibedaki de­ngan atal, sejenis bedak berwarna kuning. Sekarang tidak lagi mempergunakan atal, tetapi bedak lain. Warna itu melambang­kan keaslian warna kulit gadis petani.

Kesederhanaan kesenian itu terdapat pula pada perangkat ga­melan yang mengiringinya. Penabuhnya hanya terdiri dari enam orang, yaitu:

dua orang sebagai penggesek biola, dengan cara menggesek dan gendingnya khas Banyuwangi;
seorang penabuh gendang; 22
seorang pemukul ketuk kenong (kempul);
seorang pemukul kluncing; dan
seorang pemukul gong.

Biasanya mereka duduk bersila di atas tikar pandan yang telah disediakan. Penari gandrung bersama para pemaju menari di sekitar penabuh gamelan di atas pentas, yaitu pentas arena tanpa hiasan dekor atau ilustrasi.
Next
This is the current newest page
Previous
Next Post »
Thanks for your comment